WAWASAN KREATIF DALAM DUNIA PUISI

(Esai ini disarikan dari buku “Sejumlah Esei Sastra” karya Dr. Budi Darma, MA. dengan penyesuaian sewajarnya).
Muhammad Rain

Membentuk nilai dan mewariskan nilai merupakan dua hal berbeda. Nilai yang dimaksud di sini adalah nilai sastra, nilai kreatif berupa hasil wawasan seorang pengarang puisi. Membentuk nilai merupakan hal tak mudah dan perlu intensitas lebih. Bila dibandingkan dengan mewariskan nilai, maka kegiatan berkarya hanya berhasil pada sisi apresiasi, penghargaan terhadap pekerjaan-pekerjaan nilai yang sudah ada.

Membicarakan wawasan kreatif, kemampuan setiap pengarang memiliki jarak pencapaian masing-masing. Sebagai bagian dari masyarakat sastra, anggota masyarakat yang lebih luas di luar konteks bidang sastra belaka, bahkan sebagai pribadi, pengarang secara umum telah memperoleh inspirasi yang sama dengan masyarakat. Akan tetapi William Blake (63:1984) mempunyai pandangan dari segi yang berbeda. Dengan hanya memiliki kepekaan sosial dan kehendak untuk memperbaiki tata kehidupan, seorang pengarang hanya mampu menulis mengenai keadaan sehari-hari tanpa nuansa apa-apa. Tulisan semacam ini akan mirip dengan pikiran pembaca di koran mengenai fakta-fakta sosial. Dunia pikiran orang kebanyakan. Dari segi moral karya mereka memang baik, akan tetapi pembaca yang baik tidak mungkin tertarik. Pembaca yang baik tidak ingin diperlakukan sebagai orang dungu yang perlu dinasehati.

Menurut Rogen Fry (64:1984) dalam “The Artist’s Vision”, seorang seniman mempunyai kemampuan untuk membuat jarak dengan benda-benda yang akan digarapnya. Dengan kemampuan ini dia sanggup mengangkat apa yang tidak diperhatikan oleh orang lain menjadi suatu yang menarik. Kemampuan inilah yang dinamakan wawasan kreatif, yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Sementara itu, kebanyakan pengarang kita kurang memiliki wawasan tersebut.

Selain bakat, sikap juga menentukan wawasan kreatif. Sikap terlalu menginginkan hati pembaca benar-benar menjalar di sini. Seperti yang diimplikasikan oleh Goenawan Mohammad dalam Seks, Sastra dan Kita, sastra kita bersifat “Self-concious”. Kesadaran pengarang yang terlalu besar akan aspirasi masyarakatnya menjadikannya berlebih-lebihan, kurang wajar atau diam. Mereka meneriakkan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu mereka teriakkan. Sebaliknya, karena ketakutannya menyinggung aspirasi masyarakatnya, mereka diam mengenai persoalan yang seharusnya mereka garap. Di samping itu, moral bukan kegiatan verbal semata-mata, meskipun yang diverbalkan adala moral yang bagus-bagus.

A. Teeuw malah berpendapat lebih ekstrim, “Puisi modern justru tidak member pelajaran apa-apa lagi secara langsung.” Amanat memang ada, akan tetapi proses untuk mencarinya “memerlukan lebih banyak sophistication, kenjlimetan, (dan) pengetahuan yang lebih luas.” Sebetulnya, bukan hanya pembaca yang dituntut untuk memiliki kemampuan “sophistication” untuk mencari moral atau amanat karya sastra, akan tetapi juga pengarang dalam menyampaikan moral atau amanatnya itu. Pengarang yang baik dapat mem-“sophisticate”-kan penyampaian moralnya, seperti yang kita lihat dalam karya-karya sastra yang monumental.

Selanjutnya dalam buku “Sejumlah Esei Sastra” karya Dr. Budi Darma, MA. Terbitan PT Karya Unipress, 1984 disampaikan juga jawaban-jawaban tentang bagaimana “sophistication” bisa lahir dan bersinergi dari hasil wawasan kreatif pengarang terutama dalam penyampaian moral berupa amanat suatu karya sastra. Kemampuan memancing pembaca untuk mau menggiatkan jalan pikirannya dalam menangkap nilai kreatif sang pengarang justru menjadikan dunia apresiasi tumbuh kembang, proses penggalian potensi nilai-nilai karya sastra dari bacaan mereka kemudian menjadikan karya pengarang dengan sendirinya fenomenal dan layak disebut bermutu tinggi. Hal ini tentu berbeda ketika pengarang sekadar mencatut ulang kenyataan tanpa memiliki teknik dan wawasan kreatif yang seimbang agar sastra memiliki perkembangan yang lebih dapat diharapkan. Persis.

Dunia puisi hari ini tentu berbeda jika kita bandingkan pada masa yang sudah-sudah. Puisi menjadi bukti bahwa nilai praktis dan keintimannya dengan tema yang disampaikan di masa sekarang semakin beragam. Para pengarang memiliki ruang lebih luas untuk menyuguhkan nilai yang berhasil ia tangkap lewat beragam media. Kejelian menawarkan tema-tema baru dan ekslusif dapat juga mereka peroleh lewat kesempatan membaca banyak puisi yang sudah tertayang atau tercetak itu. Potensi benturan tema sesamanya, kehadiran komunitas sastra dan persaingan kreatif dengan sendirinya akan mengantar wawasan kesusastraan pada diri masing-masing penulis.

Menyangkut nilai moral dalam sastra, Budi Darma membedah pula dalam isi bukunya berupa nilai humantit dan nilai kreativitas. Bentuk pengucapan yang “humanitat” menurutnya selalu terdapat dalam filsafat, seni dan agama. Pengertian nilai Humanitat itu sendiri sering mengalami perubahan, sesuai dengan keadaan jaman dan tergantung pula pada siapa yang mempergunakannya. Mengutip pendapat Immanuel Kant, dulu “humanitat” secara umum dimaknai sebagai sopan santun atau tingkah laku yang baik. Bagi Kant sendiri perkataan “humanitat” mempunyai arti yang lebih luas dan mendasar: manusia mempunyai prinsip, yakin akan kebenaran prinsipnya, akan tetapi akhirnya manusia harus rusak menghadapi pnyakit dan binasa melawan kematian. Implikasinya adalah bagaimana kita memanfaatkan sisa-sisa hidup kita untuk melaksanakan prinsip kita. Tentu saja prinsip di sini adalah yang sejalan dengan kepentingan moral.

Nilai puisi memiliki tuntutan standar yang adiluhung dengan sendirinya menuntut bentuk pengucapan yang adiluhung pula. Tuntutan standar nilai kreatifitas adiluhung ini menjadi batu sandar bagi pertumbuhan karya sastra yang hendak diciptakan pengarang. Batas-batas yang selanjutnya dapat diserupakan bagai menaiki anak tangga adiluhung itu sendiri. Seni selanjutnya dianggap sebagai suatu bentuk pengucapan yang paling menonjol dalam “humanitat” dibandingkan filsafat dan agama. Menurut J. Bronowski dalam Creativity, pencapaian manusia dapat dibagi menjadi tiga, yaitu “creation”, “invention”, dan “discovery”. “Creation” atau kreativitas adalah pencapaian dalam dunia seni, “invention” dalam dunia ilmu pengetahuan dan demikian juga “discovery”. Di antara ketiga pencapaian ini, yang paling murni adalah kreativitas.

Berbeda dengan “invention” dan “discovery”, kreatifitas bersifat sangat personal. Marilah kita bayangkan, William Shakespeare meninggal sebelum sempat menulis Othello. Kita dapat membayangkan apa yang akan terjadi: tidak akan ada satu orang pun yang akan dapat menulis Othello seperti yang ditulis oleh Shakespeare. Othello yang ditulis oleh orang lain pasti akan mempunyai corak lain, yang berbeda dengan corak khas Shakespeare. Karena itulah kreativitas mempunyai sifat yang sangat personal, yang tidak dapat digantikan oleh orang lain.

Dengan demikian nilai-nilai personal adalah pencapaian tertinggi dari suatu kinerja berkarya sastra. Keefektifan yang berhasil dicapai oleh seorang pengarang bahkan calon pengarang diawali dari menemukan nilai-nilai personal yang telah ada dalam dirinya, meskipun hal ini tanpa didukung adanya nilai bakat maupun darah seni dari keturunan pengarang-pengarang itu. Selanjutnya dalam proses menghasilkan puisi yang baik dan bermutu, penulis harus mampu menyisihkan keberagaman seni kepenulisan masing-masing pendahulunya, mereka yang telah memiliki nilai personal secara kreatif itu harus mampu dijadikan model pembanding, bukan justru sebagai model apresian, model plakat dan cenderung selanjutnya mengepung pengarang-pengarang muda terus berada dalam lingkaran-lingkaran nilai yang telah ada diciptakan oleh pendahulu mereka. Bukan justru menciptakan nilai baru, personaliti murni dan mataperah potensi kreatif orang lain. Mereka para pengarang yang ketika disebut nama dirinya telah berada dalam kesusastraan yang berhak.

11 Agustus 2011

Tinggalkan komentar